Nilai Moral Dalam Cerita Rakyat

| Selasa, 16 Desember 2014
Nilai Moral Dalam Cerita Rakyat
Sebagai Sarana Pendidikan Budi Pekerti
Dwi SulistyariniFakultas Sastra Universitas Negeri Malang

Abstrak

Kebudayaan merupakan konsep yang sangat luas dan kompleks yang dapat diinterpretasikan secara beragam. Selain kebudayaan universal dikenal pula kebuayaan lokal yang menyimpan kearifan lokal. Sementara kearifan lokal yang kesemuanya merupakan sebuah kompleksitas kebudayaan. Salah satu budaya tradisi lisan seperti cerita rakyat juga mengandung kearifan lokal dalam isi ceritanya.  Cerita rakyat sebagai bagian dari foklore dapat dikatakan menyimpan sejumlah informasi sistem budaya seperti filosofi, nilai, norma, perilaku masyarakat. Dalam Cerita Malin Kundang dan cerita Batu yang Menangis bertemakan tentang anak yang durhaka karena tidak mengakui pada orang tuanya. Hal ini mengajarkan bahwa seorang anak tidak boleh berani bahkan tidak mengakui ibunya meskipun sudah kaya atau berparas cantik.  Selain itu, dalam cerita  Legenda Asal Mula Kalimas mengajarkan kepatuhan seorang patih kepada rajanya, Asal Mula Upacara Kasada, dan Lembusura mengajarkan rela berkorban, ajaran tentang kejujuran tersirat dalam cerita Joko Dolog. Apabila digali lebih jauh sebenarnya cerita rakyat mempunyai kedudukan dan fungsi yang sangat penting dalam masyarakat pendukungnya. Dalam cerita rakyat mengandung nilai luhur bangsa terutama nilai-nilai budi pekerti  maupun ajaran moral. Apabila cerita rakyat itu dikaji dari sisi nilai moral, maka dapat dipilah adanya  nilai moral individual, nilai moral sosial, dan nilai moral religi. Adapun nilai-nilai moral individual, meliputi:
1. kepatuhan,
2. pemberani,
3. rela berkorban,
4. jujur,
5. adil dan bijaksana,
6. menghormati dan menghargai,
7. bekerja keras,
8. menepati janji,
9. tahu Balas Budi,
10. baik budi pekerti,
11. rendah hati, dan
12. hati-hati dalam bertindak.

Sedangkan nilai-nilai moral sosial, meliputi:
1. bekerjasama,
2. suka menolong,
3. kasih sayang,
4. kerukunan,
5. suka memberi nasihat,
6. peduli nasib orang lain, dan
7. suka mendoakan orang lain.

Nilai-nilai moral religi, meliputi:
1. Percaya Kekuasaan Tuhan,
2. Percaya Adanya Tuhan,
3. Berserah Diri kepada Tuhan/Bertawakal, dan
4. Memohon Ampun kepada Tuhan.

Pengantar
Sastra daerah yang berbentuk lisan maupun tulisan merupakan cagar budaya dan ilmu pengetahuan. Salah satu sastra daerah yang perlu dilestarikan adalah cerita rakyat. Setiap wilayah tentunya mempunyai cerita rakyat yang dituturkan secara lisan. Cerita rakyat yang pada mulanya dilisankan selain berfungsi untuk menghibur, juga dapat memberikan pendidikan moral. Namun, sekarang sudah digeser oleh berbagai bentuk hiburan yang lebih menarik dalam berbagai jenis siaran melalui televisi, radio, surat kabar, dan lain sebagainya.
Sebelum media cetak dan media elektronik berkembang pesat seperti sekarang ini, cerita rakyat mendapat tempat yang baik di hati masyarakat pemiliknya. Cerita rakyat merupakan pencerminan dari kehidupan masyarakat pada saat itu, pola pikir dan hayalan yang menarik, sehingga masyarakat merasa tertarik dan memperoleh keteladanan moral. Adapun jenis ajaran moral mencakup seluruh persoalan hidup dan kehidupan. Secara garis besar persoalan hidup dan kehidupan manusia itu dapat dibedakan ke dalam persoalan
1. hubungan manusia dengan diri sendiri,
2. hubungan manusia dengan manusia lain dalam lingkup sosial
    termasuk hubungannya dengan lingkungan alam, dan
3. hubungan manusia dengan Tuhannya (Nurgiyantoro, 2000:324). 
Hal itu dapat disinyalir bahwa cerita rakyat mempunyai kedudukan dan fungsi yang sangat penting dalam masyarakat pendukungnya. Cerita rakyat mengandung nilai luhur bangsa terutama nilai-nilai atau ajaran moral.
Pada setiap wilayah cerita rakyat yang mempunyai nilai luhur tentunya beragam. Namun ada pula yang mempunyai kemiripan tema, tetapi pengungkapannya maupun unsur budaya yang mendorong tema berbeda. Misalnya legenda candi Prambanan sebagai wujud cerita Roro Jonggrang ada kesamaan tema dengan legenda candi Jago yang ada di Malang. Cerita Malin Kundang ada kemiripan tema dengan cerita Batu yang Menangis, yaitu bertemakan tentang anak yang durhaka karena tidak mengakui pada orang tuanya. Apabila dikaji lebih jauh, isi cerita tersebut mempunyai pesan bahwa seorang anak tidak boleh sombong dan tidak mengakui ibunya meskipun kondisinya lebih baik dari ibunya. Akibatnya seperti yang ada dalam cerita Malin Kundang menjadi batu dan anak gadis yang ada dalam cerita Batu yang Menangis  kakinya juga menjadi batu atas kutukan ibunya. Hal itu mengandung budi pekerti yang luhur sebagai sarana untuk mengajarkan moral kepada anak. Budi pekerti luhur yang terkandung dalam cerita rakyat itu dapat dijadikan pula sebagai bahan ajar sastra di sekolah untuk disampaikan kepada siswa. Hal itu  sesuai dengan hasil penelitian V.Propp. (1997) mengatakan bahwa cerita rakyat atau folklor sangat perlu diperhatikan sebagai tanda perubahan masyarakat. Folklor dalam masyarakat menyuarakan perilaku proses mendidik sesamanya. Perubahan yang dilakukan manusia terutama melalui proses pengenalan kebudayaan yang terus menerus akan dapat diidentifikasikan pemahaman manusia kepada kebudayaannya. Selain itu, Danandjaja (1986) menerangkan bahwa folklor atau cerita rakyat mempunyai kegunaan dalam kehidupan bersama suatu kolektif, misalnya sebagai alat pendidikan, penglipur lara, protes sosial, dan proyeksi keinginan terpendam. Sedangkan berdasarkan hasil penelitian (Sulistyorini, 2003), dalam cerita rakyat mempunyai nilai-nilai luhur yang perlu dilestarikan. Dibalik isi cerita terkandung makna yang bersifat mendidik, seperti halnya dalam cerita Mbok Rondho Dhadhapan, cerita Kera ngujang, dan cerita Joko Bodho yang ada di Tulungagung. Pemahaman nilai-nilai luhur bangsa melalui cerita rakyat merupakan bekal anak untuk mengembangkan kepribadiannya berdasarkan etika. Upaya mengembangkan kepribadian dalam perilaku melalui cerita rakyat tersebut dapat memengaruhi etika dalam pergaulan hidup sehari-hari.

Cerita Rakyat sebagai Potensi Budaya Lokal
Kebudayaan merupakan konsep yang sangat luas dan kompleks yang dapat diinterpreatasikan secara beragam. Selain kebudayaan universal dikenal pula kebudayaan lokal yang menyimpan kearifan lokal. Salah satunya adalah cerita rakyat yang merupakan budaya lokal warisan leluhur yang disampaikan secara turun temurun. Cerita rakyat yang ada di Indonesia ini ada beribu-ribu cerita. Masing-masing daerah di Indonesia tentunya memiliki cerita rakyat suatu cerminan budaya lokal dengan karakter yang khas.
Cerita rakyat adalah sastra tradisional karena merupakan hasil karya yang dilahirkan dari sekumpulan masyarakat yang masih kuat berpegang pada nilai-nilai kebudayaan yang bersifat tradisional (Dharmojo, 1998:21). Kesusastraan tradisional kadang-kadang disebut sebagai cerita rakyat dan dianggap sebagai milik bersama. Hal tersebut tumbuh dari kesadaran kolektif yang kuat pada masyarakat lama.  Danandjaja (1986:2) mengemukakan bahwa folklor adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif  yang tersebar dan diwariskan turun-temurun, diantara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemonic device). Pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa cerita rakyat adalah kisahan atau cerita anonim dari zaman dahulu yang hidup di kalangan masyarakat dan diwariskan secara lisan atau turun-temurun sebagai saran untuk menyampaikan pesan atau amanat.
Menurut Bascom (dalam Danandjaja, 1986:50) cerita rakyat dapat dibagi dalam tiga golongan besar, yaitu:
1. mite (myth),
2. legenda (legend), dan
3. dongeng (folktale).

Mite adalah cerita prosa rakyat yang dianggap benar-benar terjadi serta dianggap suci oleh yang empunya cerita. Legenda adalah prosa rakyat yang mempunyai ciri-ciri yang mirip dengan mite, yaitu dianggap pernah benar-benar terjadi, tetapi tidak dianggap suci. Dongeng adalah cerita prosa rakyat yang tidak dianggap benar-benar terjadi oleh yang empunya cerita. Isi dongeng itu banyak yang tidak masuk akal, penuh dengan khayal. Isi dongeng banyak yang tidak masuk akal terjadi karena dongeng itu disampaikan dari mulut ke mulut dan setiap orang bercerita tanpa disadari memasukkan serba sedikit tentang khayalannya sendiri ke dalam dongeng itu sehingga kebenaran isinya makin kurang. Hal itu mungkin disebabkan karena cara berpikir nenek moyang kita yang masih sangat primitif dan dipengaruhi oleh tahyul. Banyak peristiwa dalam alam yang tidak dipahami oleh mereka, misalnya tentang petir, gempa bumi, topan, dan banjir. Dalam memahami hal-hal yang serupa itu, mereka mengarang cerita yang bercampur baur dengan khayal sejalan dengan jalan pikiran mereka masa itu (Iper, Dunis, 1998:5).
Berdasarkan uraian di atas menunjukkan bahwa mite, legenda, dan dongeng merupakan bagian dari cerita rakyat. Cerita rakyat yang merupakan salah satu budaya lokal  dapat pula dimanfaatkan sebagai bahan ajar sastra. Isi cerita yang ada dalam cerita rakyat dapat dijadikan sebagai sarana untuk pembelajaran budi pekerti.  Pemanfaatan budaya lokal sebagai bahan ajar sastra tersebut diharapkan dapat mewujudkan pembelajaran bermakna karena para generasi muda dapat memahami arti maupun makna yang tersirat dalam folklore. Apabila cerita rakyat akan dimanfaatkan sebagai bahan ajar sastra,  guru hendaknya menggunakan strategi yang tepat untuk diterapkan. Ada tiga strategi yang dapat digunakan antara lain:
a. Strategi Reading Guide,
b. Strategi Assesment Search,
c. Strategi Focussed Listing.

Budi Pekerti dalam Cerita Rakyat 
Cerita rakyat sebagai bagian dari foklore dapat dikatakan menyimpan sejumlah informasi sistem budaya seperti filosofi, nilai, norma, perilaku masyarakat.  Dalam cerita rakyat juga tersirat kearifan lokal yang terkandung dibalik isi cerita.  Menurut I Wayang Geriya dalam Wurianto menyatakan bahwa ada tiga dimensi kearifan lokal meliputi

a. dimensi potensi budaya baik berupa unsur tangible maupun yang
    intangible,
b. dimensi metode dan pendekatan yang mengedepankan kearifan dan
    kebijaksanaan,dimensi  arah dan tujuan yang menekankan harmoni
    dan keberlanjutan.
Budaya tersebut antara lain : bahasa lokal, pranata lokal, kearifan lokal, dan seni pertunjukan. Budaya yang terkait dengan kearifan lokal meliputi

a. konsep lokal,
b. cerita rakyat/ folk tale,
c. ritual keagamaan,
d. kepercayaan lokal,
e. berbagai pantangan dan anjuran yang terwujud sebagai perilaku dan
    kebiasaan publik.
Kearifan lokal yang ada dalam cerita rakyat menyangkut moral maupun etika yang ditunjukkan pada dialog para tokohnya.  Moral maupun etika tersebut  merupakan bagian dari budi pekerti. Secara etimologi kata “etika” sama dengan etimologi kata “moral”, karena keduanya berasal dari kata yang berarti kesusilaan. Hanya bahasa asalnya berbeda, moral berasal dari bahasa Latin, sedangkan etika berasal dari bahasa Yunani. Poerwadarminta (1986:654) mengartikan moral sebagai ajaran tentang baik dan buruk perbuatan dan kelakuan (akhlak, kewajiban dan sebagainya). Sedangkan, Suseno (1987:19) mengemukakan bahwa kata moral selalu mengacu pada baik buruknya manusia sebagai manusia. Berdasarkan pengertian tersebut dapat dikatakan moral berkaitan dengan pemberian nilai atau penilaian terhadap baik buruknya manusia. Penilaian ini menyangkut perbuatan yang dilakukan, baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja. Hal itu perlu disadari bahwa pemberian nilai baik dan buruk terhadap perbuatan manusia relatif. Artinya, suatu hal yang dipandang baik oleh orang yang satu atau bangsa pada umumnya, belum tentu sama bagi orang atau bangsa yang lain. Pandangan seseorang tentang moral, nilai-nilai atau kecenderungan-kecenderungan, biasanya dipengaruhi oleh pandangan hidup, way of life bangsanya.
Moral dalam cerita merupakan sarana yang berhubungan dengan ajaran moral tertentu yang bersifat praktis, yang dapat diambil dan ditafsirkan melalui cerita yang bersangkutan oleh pembaca. Ia merupakan petunjuk yang ingin diberikan pengarang tentang berbagai hal yang berhubungan dengan masalah kehidupan, seperti sikap, tingkah laku, dan sopan santun pergaulan. Ia bersifat praktis sebab petunjuk itu dapat ditampilkan atau ditemukan modelnya dalam kehidupan nyata sebagaimana model yang ditampilkan dalam cerita lewat tokoh-tokohnya (Kenny, dalam Nurgiyantoro, 2000:321). Dalam cerita, melalui sikap, dan tingkah laku para tokohnya  diharapkan pembaca dapat mengambil hikmah dari ajaran moral yang disampaikan.

Budi Pekerti pada Nilai Moral Individu dalam Cerita Rakyat
Nilai moral individual adalah nilai moral yang menyangkut hubungan manusia dengan kehidupan diri pribadi sendiri atau cara manusia memperlakukan diri pribadi. Nilai moral tersebut mendasari dan menjadi panduan hidup manusia yang merupakan arah dan aturan yang perlu dilakukan dalam kehidupan pribadinya.    Adapun nilai moral individual, meliputi:     

1. kepatuhan,
2. pemberani,
3. rela berkorban,
 4. jujur,
5. adil dan bijaksana,
6. meng- hormati dan menghargai,
7. bekerja keras,
8. menepati janji,
9. tahu Balas Budi,
10. baik budi pekerti,
11. rendah hati, dan
12. hati-hati dalam bertindak.

Untuk menanamkan budi pekerti  pada anak dapat melalui nilai individual yang tersirat dalam cerita rakyat. Dalam cerita Legenda Asal Mula Kalimas menunjukkan kepatuhan seorang patih kepada rajanya. Nilai moral kepatuhan yang terdapat dalam teks.  Kepatuhan tersebut dapat dilihat pada kutipan dialog berikut ini. Kepatuhan seorang Patih, yang bernama Patih Suradigda kepada Adipati Surabaya. Sebagai seorang Patih, Patih Suradigda patuh sekali terhadap segala perintah yang telah diberikan oleh rajanya. Adapun kepatuhan dalam cerita Ajisaka  ditunjukkan oleh abdi Ajisaka bernama Dora dan Sembada. Mereka berdua rela mati daripada menghianati perintah tuannya. Selain itu, nilai individual yang tercermin pada rela berkorban dapat dilihat pada cerita Asal Mula Upacara Kasada. Dalam cerita ini sikap rela berkorban ditunjukkan oleh seorang anak yang bernama Kusuma. Dia rela dijadikan korban untuk dilemparkan ke kawah gunung Bromo, demi memenuhi keinginan Dewa Brahma. Dia rela berkorban untuk orang tua, adik-adiknya, dan keselamatan orang-orang Tengger pada umumnya. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan cerita “Sudahlah, bu! Hilangkan perasaan hati ibu. Saya bersedia menjadi korban demi ayah ibu, adik-adik serta keselamatan orang-orang Tengger pada umumnya. Saya rela menjadi korban, Bu!”. Kutipan tersebut menunjukkan pengorbanan Kusuma sangat besar demi orang tuanya, adik-adiknya, dan orang-orang Tengger pada umumnya. Nilai individu terkait rela berkorban juga tersirat pada cerita yang berjudul Lembusura. Raden Wimba atau Lembusura rela melakukan apa saja demi seorang wanita yang dicintainya. Dia rela memenuhi permintaan Putri Dyah Ayu Pusparani untuk membuat sumur di puncak gunung Kelud. Adapun moral individu terkait pada kejujuran tersirat pada cerita  Joko Dolog. Kejujuran ini dimiliki oleh Jaka Jumput. Dia mengatakan dengan jujur kepada Adipati Surabaya apa yang sebenarnya telah terjadi. Sikap jujur juga tampak pada cerita Batu Balang  ditunjukkan melalui tokoh Darung Bawan. Darung Bawan mengalami kegagalan dalam membuat riam, jujur mengakui bahwa ia telah gagal, dan ia langsung menemui Kameloh Buang Penyang untuk memberitahukannya. Karena kegagalnnya itu, ia mundur dan pulang ke desa asalnya. Bekerja keras merupakan salah satu moral individu yang tercermin dalam cerita Guhung Rawai. Dalam cerita tersebut diceritakan bahwa untuk memperoleh kehidupan yang layak seseorang perlu bekerja keras dengan menggunakan waktu sebaik-baiknya. Rawai dan teman-temannya selalu bekerja keras dengan mengerjakan pekerjaan yang bermanfaat untuk meningkatkan taraf hidup mereka. Selain itu, sikap rendah hati juga tercermin dalam cerita Joko Bodho. Joko bodho selalu rendah hati meskipun ia dapat mengobati orang yang sakit. Joko bodho pun juga suka menolong terhadap sesama tanpa pamrih. Orang-orang desa pergi ke rumah Joko Bodho dengan sendirinya tanpa ada pemberitahuannya kalau ia dapat mengobati orang sakit.
Moral individu yang ada dalam cerita  dia atas dapat diajarkan kepada anak untuk memahami etika. Nilai-nilai luhur berkaitan dengan moral yang terdapat dalam cerita perlu disampaikan kepada anak. Kepatuhan, rela berkorban, kejujuran, bekerja keras, dan rendah hati merupakan bagian dari moral individu yang dapat diterapkan dalam etika bertingkahlaku. Sehingga, anak dapat mengerti bahwa perlu adanya etika dalam bersikap pada kehidupan sehari-hari. Hal  itu diharapkan dapat memupuk budi pekerti pada anak. Sebenarnya jika ditelusuri lebih jauh masih banyak cerita rakyat yang mengandung nilai moral individu yang dapat diajarkan pada anak.
Budi Pekerti pada Nilai Moral Sosial dalam Cerita Rakyat
Nilai moral sosial itu terkait hubungan manusia dengan manusia yang lain dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam melakukan hubungan tersebut, manusia perlu memahami norma-norma yang berlaku agar hubungannya dapat berjalan lancar atau tidak terjadi kesalahpahaman. Manusia pun seharusnya mampu membedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk dalam melakukan hubungan dengan manusia lain. Adapun nilai-nilai moral sosial tersebut, meliputi:

1. bekerjasama,
2. suka menolong,
3. kasih sayang,
4. kerukunan,
5. suka memberi nasihat,
6. peduli nasib orang lain, dan
7. suka mendoakan orang lain.

Dalam cerita rakyat tersirat nilai moral sosial yang dapat dijadikan sebagai pendidikan budi pekerti. Budi pekerti dalam cerita rakyat yang mencerminkan sikap bekerjasama  tersirat  pada cerita Asal Mula Upacara Kasada. Dalam cerita tersebut  diceritakan adanya kerjasama sepasang suami istri yang bernama Ki Seger dan Nyai Anteng. Mereka selalu bekerjasama dalam mengolah tanah untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Sikap bekerjasama juga tercermin dalam cerita Harimau Gembong. Kerjasama dalam cerita ini  ditunjukkan oleh warga Kendalbulur Boyolangu yang bekerjasama menghadapi harimau gembong. Para warga keluar dari rumah dengan membawa berbagai senjata dan berkumpul untuk meringkus harimau gembong tersebut. Kerjasama warga tersebut dapat membawa hasil, yaitu harimau berhasil digiring warga dan diringkusnya.  Adapun sikap suka menolong  dapat ditemukan dalam cerita  Joko Dolog. Sikap ini ditunjukkan oleh Jaka Jumput  saat dia mendengar orang  meminta tolong, dia langsung mencari arah suara itu. Setelah menemukan, Jaka Jumput langsung menolong orang yang bernama Pangeran Jaka Taruna yang tersangkut di dahan pohon yang tinggi. Suka menolong  juga  tersirat dalam cerita Ajisaka. Ajisaka telah menolong para penduduk yang sedang lari ketakutan. Dia meminta agar para penduduk mau tinggal bersamanya di rumah Mbok Rondo Sengkeran. Dalam cerita Punden Setono Badhong, sikap suka menolong juga ditunjukkan oleh warga yang bergegas menolong salah satu warga yang tenggelam di genangan sumber air. Hal itu dapat dilihat pada kutipan berikut:
Ia berenang-renang di genangan air itu. Tiba-tiba ketika sedang asyik berenang, ada arus air yang menariknya dari bawah. Ia berteriak minta tolong. Temannya yang awalnya duduk di tepi langsung bergegas berenang menyelamatkannya. Namun tidak berdaya karena arus bawah airnya semakin deras menariknya. Temannya itu terus berenang menuju ke arahnya, samapai ia dapat menggapai tangan temannya. Ia pun langsung menarik temannya menuju tepi. (PSB:42).

Kutipan di atas menunjukkan bahwa adanya kerjasama antar warga dan kepedulian warga untuk menolong temannya. Sikap tolong menolong ini perlu diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat. Warga masyarakat tidak bisa hidup sendiri, mereka tentunya membutuhkan bantuan orang lain.  Adapun moral sosial terkait dengan kerukunan tersirat dalam cerita  Asal Mula Upacara Kasada. Hal ini  dapat dilihat dari kerukunan  Ki Seger dan Nyai Anteng. Mereka berdua hidup rukun, sehingga rumah tangganya menjadi tentram.  Selain itu dalam moral sosial juga ada sikap suka memberi nasehat. Hal ini menunjukkan adanya kepedulian terhadap orang lain. Sikap suka memberi nasehat tercermin dalam cerita Syeh Basarudin. Syeh Basarudin sebagai tokoh penyebar agama Islam, ia juga mengajarkan ilmu agama kepada masarakat dusun Srigading, desa Bolorejo.  Nasehat yang diberikan Syeh Basarudin terhadap murid-muridnya adalah selalu mengingatkan agar bersikap adil dan tidak lupa sholat lima waktu. Hal itu dapat dilihat pada kutipan berikut.
Murid-muridku, ingatlah selalu ilmu-ilmu agama yang aku ajarkan. Jangan lupa sholat lima waktu dan bersikaplah adil terhadap sesama. Jangan lupa pula untuk menularkan ilmu kalian kepada orang lain. Ilmu yang kalian tularkan akan bermanfaat untuk diri sendiri dan orang lain. (SB:36)

Kutipan di atas menunjukkan bahwa nasehat yang diberikan oleh Syeh Basarudin kepada muridnya itu agar ditularkan kepada orang lain dan diwujudkan dalam tingkah laku. Dalam cerita diterangkan pula adanya seorang murid Syeh Basarudin yang bernama Tumenggung Mangundirono berguru  selama 32 tahun menerapkan ajarannya. Hal itu tampak ketika Tumenggung Mangundirono terpilih menjadi bupati Tulungagung bersikap bijaksana, adil, dan rajin beribadah. Keadailan dan keamanan warga pun terjamin. Nasehat Syeh Basarudin yang diberikan kepada murid-muridnya itu menunjukkan adanya keterkaitan dengan budi pekerti yang luhur pada moral sosial.
Kerjasama, suka menolong, kerukunan, dan suka memberi nasehat  yang ada pada cerita di atas mencerminkan adanya budi pekerti pada nilai moral sosial. Hal itu dapat disampaikan kepada anak bahwa manusia itu tidak dapat hidup secara individu, manusia selalu membutuhkan orang lain dalam kehidupan sehari-hari. Adanya kerjasama, suka menolong, dan kerukunan  para tokoh yang ada dalam cerita rakyat itu dapat dijadikan sebagai contoh yang baik. Ajaran moral melalui sikap, dan tingkah laku para tokoh dalam cerita diharapkan dapat diambil pelajarannya. Dalam hal ini secara tidak langsung menanamkan budi pekerti kepada anak.

Budi Pekerti pada Nilai Moral Religi dalam Cerita Rakyat
Budi pekerti dalam sebuah cerita dapat dilihat dari nilai moral religi. Nilai moral religi pada dasarnya merupakan hubungan manusia dengan Tuhannya. Salam (1997:15) mengemukakan bahwa akhlak atau moralitas manusia kepada Tuhan di antaranya:

1. beriman; meyakini bahwa sesungguhnya Dia ada,
2. taat; menjalankan perintah dan menjahui larangan-Nya,
3. ikhlas; kewajiban manusia beribadah kepada-Nya dengan ikhlas dan
    pasrah,
4. tadlarru’ dan khusyuk; dalam beribadah hendaklah sungguh-sungguh,
    merendahkan diri serta khusyuk kepada-Nya,
5. ar-raja’; mempunyai pengharapan atau optimisme bahwa Allah akan
    memberikan rahmat kepada-Nya,
6. husnud-dhan; berbaik sangka kepada Allah,
7. tawakal; mempercayakan sepenuhnya kepada Allah,
8. bersyukur kepada Allah, dan (9) taubat dan istighfar.
Budi pekerti yang terkait dengan moral religi tercermin pada percaya kepada Tuhan. Percaya kepada Tuhan adalah mempunyai keyakinan atau kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai pencipta alam semesta ini. Keyakinan atau kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa merupakan dasar, maupun sesuatu yang paling tinggi dan paling utama. Sikap percaya adanya Tuhan tersirat dalam cerita  Sunan Ampel yang ditunjukkan oleh tokoh  Raden Rahmat. Raden Rahmat mengajak para penduduk Krian untuk mengakui dan percaya bahwa Tuhan itu ada. Beliau pun membagikan kipas dari akar tumbuh-tumbuhan dan anyaman rotan kepada penduduk setempat secara gratis cukup menukarnya dengan kalimat Syahadat.  Selain itu, sikap berserah diri kepada Tuhan/Bertawakal tersirat dalam cerita  Sunan Giri  yang ditunjukkan oleh Raden Paku. Beliau selalu bermunajat meminta pertolongan dan petunjuk hanya kepada Allah. Adapun sikap memohon ampun kepada Tuhan dapat ditemukan dalam cerita Pertentangan Dua Saudara  yang ditunjukkan oleh seorang raja yang bernama Raja Kameswara. Setiap saat raja memohon ampun kepada Tuhan atas kesewenang-wenangannya di masa lalu.
Budi pekerti pada cerita di atas secara tidak langsung mengajarkan moral religi. Nilai moral religi adalah nilai-nilai yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya. Manusia adalah makhluk religius (makhuk yang beragama), sehingga sebagai makhluk beragama manusia senantiasa mempercayai adanya kekuasaan dan Dzat yang tertinggi, yaitu Tuhan yang menciptakan manusia dan alam semesta ini. Moral religi yang ada dalam cerita rakyat dapat dijadikan sebagai nasehat kepada anak terkait  pengajaran budi pekerti.

Penutup
Dalam cerita rakyat banyak terkandung budi pekerti yang dapat dipetik nilainya. Budi pekerti dalam cerita rakyat dapat dilihat dari sisi nilai moral yang ada dalam cerita. Nilai moral tersebut antara lain, moral individu, moral sosial, dan moral religi. Nilai moral yang ada dalam cerita dapat dijadikan sebagai ajaran maupun pedoman manusia dalam menjalani hidupnya. Adanya kejujuran, kepatuhan, rela berkorban, kerukunan, bekerjasama, suka menolong, percaya adanya Tuhan, berserah diri, memohon ampun merupakan sikap terkait budi pekerti luhur yang seharusnya dimiliki oleh manusia.
Budi pekerti  luhur yang ada dalam cerita rakyat tersebut perlu diajarkan kepada anak. Hal itu penting untuk diajarkan agar anak memahami etika tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-hari. Cerita rakyat yang mengandung nilai luhur tersebut perlu dilestarikan agar tidak hilang. Cerita rakyat yang merupakan salah satu tradisi lisan ini perlu disampaikan secara turun temurun pada generasi berikutnya agar cerita ini tetap hidup di masyarakat. Cerita rakyat merupakan salah satu potensi budaya lokal yang perlu dijaga bersama.

DAFTAR PUSTAKA
♦ Danandjaja, James. 1986. Folklor Indonesia Ilmu Gosip dan
   Dongeng. Jakarta: Graffiti Press.
♦ Dharmojo, dkk. 1998. Sastra Lisan Ekagi. Jakarta: Pusat Pembinaan
   dan Pengembangan Bahasa.
♦ Iper, Dunis, dkk. 1998. Legenda dan Dongeng dalam Sastra Dayak
   Ngaju. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
   Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
♦ Nurgiyantoro, Burhan. 2000. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta:
   Gadjah Mada University Presss.
♦ Poerwadarminta, W.J.S. 1986. Kamus Umum Bahasa Indonesia.
   Jakarta: Balai Pustaka.
♦ Suseno, Franz Magnis. 1987. Etika dasar Masalah-masalah Pokok
   Filsafat Moral.  Yogyakarta: Kanisius.
♦ Sulistyorini, Dwi. 2003. Mitos Masyarakat terhadap Legenda di
   Kecamatan Boyolangu      Kabupaten Tulungagung. Malang : Lemlit
   UM.
♦ Sulistyorini, Dwi, dkk.  2009. Kumpulan Cerita Rakyat Tulungagung.
   Malang: Lemlit UM.
♦ V. Propp.1997. Morfologi Cerita Rakyat Kualalumpur. Dewan
   Bahasa dan Pustaka
♦ Wurianto, Arif Budi. 2008. Pemberdayaan Keberagaman Sosial
   Budaya Lokal Melalui BIPA . Makalah dalam seminar Regional 
   Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing di Regent’s Park Hotel
   Malang tanggal 18 Juni 2008.
CURRICULUM VITAE
IDENTITAS DIRI
Nama  : Dwi Sulistyorini, S.S.,M.Hum.
NIP/NIK  : 197311121998022001  
Tempat dan Tanggal Lahir : Tulungagung, 12 November 1973
Jenis Kelamin : Perempuan
Status Perkawinan : Kawin   
Agama : Islam   
Golongan / Pangkat : IIId/ Penata Tk. I   
Jabatan  Akademik : Dosen
Instansi : Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra UM   
Perguruan Tinggi : Universitas Negeri Malang
Alamat  : Jalan Semarang 5 Malang
Telp./Faks. : (*********************)
Alamat Rumah  : Perumahan Zona Neighbourhood Blok NB. 28 Sawojajar Malang
Telp./Faks. : (*********************)
Alamat e-mail  :(*********************)


sumber
http://ki-demang.com/kbj5/index.php/makalah-komisi-b/1147-13-nilai-moral-dalam-cerita-rakyat-sebagai-sarana-pendidikan-budi-pekerti

0 komentar:

Posting Komentar

Next Prev
▲Top▲